TRIDARMA ILMU TANAH: CITA-CITA DAN KENYATAAN (Tejoyuwono Notohadiprawiro Universitas Gadjah Mada)
Menerima
'Tridarma' sebagai doktrin yang melandasi segala kegiatan dan corak kehidupan
kampus, berarti kita sanggup memenuhi berbagai tuntutan, baik yang mengenai
mutu penyelesaian tugas maupun yang berkaitan dengan harkat pribadi.
Penghayatan Tridarma secara benar dan utuh menjadi ciri khas insan kampus
yang tidak dapat ditawar oleh siapa pun. Tuntutan mutu
penyelesaian tugas dipenuhi dengan jalan: Tuntutan harkat
pribadi dipenuhi dengan jalan: Di pihak lembaga
pendidikan tinggi, Tridarma mengisyaratkan kewajiban memerankan pelopor dan
pemimpin dalam membina ilmu. Perspektif
Sejarah Ilmu Tanah Perspektif
sejarah berguna untuk (1) membantu mengendapkan dalam pikiran kita
tahapan-tahapan rumit yang telah dilalui suatu ilmu, dalam hal ini ilmu
tanah, (2) memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi pengkajian
tanah, dan (3) meramalkan hari depan ilmu tanah. Manusia secara
berangsur mendapatkan pengetahuan sebagai hasil perjuangannya demi
kemaujudannya (existence). Inilah sebabnya mengapa kedokteran, botani dan
astronomi merupakan disiplin ilmu yang tertua, pengetahuan yang pertama-tama
dimiliki manusia. Pengetahuan kedokteran dia perlukan untuk melawan gangguan
atau penyakit tubuhnya. Botani berkembang diderita karena minatnya yang
mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang
angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran
matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan
sebagainya membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali penyembahan
Dewa Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap pengetahuan manusia
bertambah yang akhimya melahirkan astronomi. Dari sesuatu yang dipandang
gaib, dipuja dan disembah, lambat laun berganti menjadi sesuatu yang sangat
memikat untuk disingkap rahasianya, untuk dijamah. Manusia mulai menjelajahi
ruang angkasa. Bagaimana
mengenai tanah? Tanah berada di bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia
menginjaknya, akan tetapi dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh
pertolongan dan keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat
tinggal di dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas
dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil tumbuhan, dan
selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan dedaunan, kulit kayu,
atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari kedinginan, kehujanan,
tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu pula tanah bukan sesuatu yang
perlu diperhatikan. Kelahiran
pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia
menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi tanaman.
Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern)
manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian Proses
pengumpulan dan penghimpunan pengalaman mulai berjalan dan makin melaju
setelah manusia hidup menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang
lebih banyak dan andal untuk dapat memilih Orang-orang Mesir Kuno memanfaatkan
kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang lembahnya. Orang-orang
Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris yang beriklim
kering mengembangkan teknik irigasi yang hebat. Akan tetapi teknologi irigasi
waktu itu belum terdukung oleh pengetahuan tanah yang memadai. Maka akhimya
tanah-tanah beririgasi di lembah Sungai Eufrat dan Tigris menjadi rusak
karena salinisasi. Larutan garam di dalam air sungai mengendap dalam tanah
karena evaporasi kuat di kawasan beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani
dan Cina mengembangkan kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau
kotoran ternak. Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam
klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi
(Bennett, 1939; Joffe, 1949; Russell, 1963). Pengetahuan akan
ada kalau ada kebutuhan segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah
perkembangan suatu pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau
keadaan tempat yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan
pengetahuan berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam.
Akan tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu
sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat
dilaksanakan oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para
cendekiawan sudah jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain maka
kemunculan ilmu tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada diversifikasi
minat di kalangan para ahli pikir itu. Saat tersebut
akhimya tiba juga pada menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan
perhatian dari para cerdik pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia,
fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya
petrografi dan mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu
masing-masing, mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi
menganggap tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah
untuk menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir
(fragment) batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan
fisiologi tumbuhan memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan tanah
dan mengaitkannya dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi mementingkan
unsur atau senyawa penyusun tanah yang dihasilkan oleh kegiatan biologi,
khususnya oleh kegiatan jasad renik. Berkat kemajuannya
yang pesat dan berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai pandangan
ilmiah. Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh
berupa pemikiran dan kegiatan analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis
dan Liebig di Jerman kepada ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai
tonggak sejarah penting bagi perkembangan ilmu tanah. Terutama "teori
mineral" dan "hukum minimum" Liebig yang diumumkannya pada
tahun 1840 telah menghidupkan ilmu kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah
yang bertumbuh pesat dan menjadi cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada
abad ke-20. Dengan teori dan hukum tersebut Liebig sekaligus menumbangkan
"teori humus" Thaer yang diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat
dicatat bahwa ilmu kesuburan tanah modern menggabungkan teori humus dan teori
mineral menjadi satu kesatuan dan menjabarkan ulang hukum minimum menjadi
hukum neraca hara Di bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian
tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah berhutang budi kepada kimia atas
sumbangannya berupa metode dan tatacara penelitian serta hukum dasar kimia
yang diterapkan pada tanah selaku medium produksi pertanaman. Akan tetapi di
balik keberuntungan ini terdapat kerugian yang tidak kecil. Pengaruh ilmu
kimia yang begitu kuat telah menghambat perkembangan pengkajian tanah menjadi
disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri. Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu
kimia. Dengan konsep kimiawi tanah hanya dapat dipandang sebagai bahan dan
tidak dapat dilihat tanah sebagai suatu tubuh alam yang khas. Geologi juga
memberikan saham pada kekeliruan konsep ini. Pada waktu menekuni tanah
sebagai limbah batuan, seorang pakar geologi tidak mempedulikan hubungan
tanah dengan lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya berkaitan langsung dengan
batuan yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan tidak ada faktor lain
di luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan tanah. Fisika juga memberikan sumbangan yang
sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah. Berbagai sifat fisik dan
mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan teori dan hukum
fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga memandang tanah
semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh Kita tahu sekarang bahwa pengkajian dan
penyelesaian persoalan tanah tidak semudah dugaan orang sampai akhir abad
ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke
laboratorium untuk dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau
biologinya belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa
tanah ke rumah kaca untuk percobaan pot. Tonggak sejarah
penting berikutnya bagi perkembangan pengkajian tanah datang pada pergantian
abad ke-19 ke abad ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia oleh
Dokuchaev dan murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain
dipancangkan di Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev berlatarbelakang pendidikan
geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping berpendidikan geologi juga
kemudian menguasai zoologi, botani dan agronomi (Joffe, 1949). Oleh
kepeloporan kedua sarjana ini pandangan tentang hakekat tanah berubah dari
bahan menjadi tubuh. Konsep
tanah sebagai tubuh alam merupakan pembaharuan total atas pandangan
sebelumnya. Tanah bukan sekadar bahan kimiawi atau benda fisik yang ditemukan
di lapangan, bukan semata-mata substrat yang menghidupkan dan menghidupi
tumbuhan, bukan hanya dunia jasad renik yang kaya raya, dan bukan pula
sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu kenyataan alam yang mandiri. Tanah mempunyai
asal-usul, diujudkan di bawah kuasa faktor lingkungan tertentu melalui
berbagai proses khas dan rumit, serta terdistribusikan di muka daratan dengan
pola yang dapat ditakrifkan (distributed with definable patterns). Tanah
merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi.
Kemaujudannya bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas (forces)
yang bertanggung jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan tanggapan ini
terekam pada morfologi tubuh tanah (profil tanah) yang terbentuk oleh
berbagai proses alihrupa dan alihtempat intemal (internal transformations and
translocations). Pada waktu dikuasai
ilmu kimia, pengkajian tanah berkonsep statika. Buah penelitiannya adalah
cuplikan tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang kerjanya adalah
laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan dinamika tanah,
berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam menghadirkan sifat
tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan dinamik. Pada tahana
tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium),
anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually
adjustment) dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat
nisbi. Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan
timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian
keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah
keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh tanah
itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap penelitian
untuk meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil penetapan laboratorium
atas cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan yang lain, baik secara vertikal
untuk memperoleh rujukan tubuh maupun secara lateral untuk memperoleh rujukan
bentangan. Dengan demikian tiap data tanah berada dalam suatu sistem
informasi yang bermatra ruang. Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah
pada sejarah bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah
memperoleh pula matra waktu. Setelah berhasil
melahirkan konsep khusus tentang hakekat tanah dan berhasil menguraikan hukum
yang mengatur faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan tanah menjadi suatu
disiplin ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang lain, seperti ilmu
kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi "bapak angkat" ilmu
tanah melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika sudah menjadi
alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah, khususnya dalam
pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam tanah dan interpolasi
batas bentangan jenis tanah di Ilmu tanah masih
muda sekali, boleh dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad. Akan tetapi
dengan memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah mengalami
kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa, ilmu tanah
memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan dalam teknik
analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan metode penelitiannya.
Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu cerdik dapat diramukan ke
dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan oleh Profesor Edelman almarhum
dalam bukunya "Sociale en Economische Bodemkunde" (1949). Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah
berdiri di antara ilmu tentang benda hidup dan tak hidup. Ilmu tanah memperoleh matra lebih luas
setelah klasifikasi dan pemetaan tanah berkembang pesat. Berkat fakta dan
bukti yang terkumpul banyak selama penjelajahan medan secara intensif di
kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam kemudian memperoleh
konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini ilmu tanah tidak saja berada
di antara alam biotik dan abiotik, akan tetapi merangkaikan kedua alam tadi,
dan bahkan memperoleh gatra sosial dan ekonomi sangat nyata. Dengan
klasifikasi dan pemetaan tanah segala informasi tentang tanah memperoleh
makna "tempat" dan penyalurannya menjadi lebih efektif karena dapat
mengikuti asas ekstrapolasi atau adaptasi. Hal ini jelas berguna sekali bagi
penaburan ilmu dan teknologi tanah. Kebutuhan akan pendirian himpunan ilmu
tanah, penerbitan jurnal ilmu tanah, atau penyelenggaraan pertemuan ilmu
tanah secara berkala, menjadi bukti nyata tentang kepentingan penyaluran
informasi untuk mendorong perkembangan ilmu tanah lebih pesat lagi. Misalnya,
pertemuan ilmu tanah yang pertama kali diadakan di Indonesia berlangsung pada
tahun 1930 di Yogyakarta. Salah satu jurnal ilmu tanah tertua "Soil
Science" yang sekarang menjadi medium penyiaran ilmu tanah yang
disegani, mulai terbit pada tahun 1916. Soil Science Society of America
berdiri pada tahun 1936. Sebagai catatan, Himpunan Ilmu Tanah Indonesia baru
berdiri pada tahun 1961 dan itupun "hidup segan mati tak sudi". Hakikat Tradisional Ilmu Tanah Ilmu tanah bermula dari sekumpulan
pengalaman sederhana dalam lingkungan masyarakat pedesaan yang serba
sederhana pula. Kemudian dia beruntung dipungut dan dipelihara dalam
lingkungan elit ilmu pengetahuan yang serba angker dan berwibawa di kota-kota
agung Berlin, Paris, London dan Moskwa. Akhirnya ilmu tanah menemukan
jatidirinya di alam luas berupa hutan belantara, padang rumput, gurun, rawa,
pegunungan tinggi bersalju dan lembah ngarai berair bah. Berbekal
kecendekiaan elit, ilmu tanah kembali berbaur dengan masyarakat bawah. Terbawa dari sejarah pertumbuhannya, secara
tradisional ilmu tanah terikat erat pada budidaya tanaman dan ternak. Sampai
sekarang pun ilmu tanah menjadi salah satu mata ajaran pokok dalam kurikulum
pertanian. Selama tanaman dibudidayakan pada tanah, selama itu pula pertanian
memerlukan ilmu tanah. Karena ilmu tanah selalu diasosiasikan dengan
pertumbuhan tanaman maka secara tradisional bidang kesuburan tanah menjadi
bagian ilmu tanah terpenting dari segi kehidupan masyarakat. Bahkan dalam pengertian orang awam, ilmu
tanah adalah ilmu kesuburan tanah. Bagian ilmu tanah yang lain, yang bersifat
"murni" seperti fisika tanah, kimia tanah, mineralogi tanah,
biologi tanah dan genesis serta klasifikasi tanah, tidak banyak dikenal
orang. Orang pada umumnya beranggapan ilmu tanah
adalah bagian dari ilmu pertanian. Ilmu tanah hanya perlu bagi petani dan
kegiatan yang melibatkan tanaman. Akibatnya, ilmu tanah memperoleh ruang
cerapan yang sempit. Cerapan tradisional ini masih melekat pada banyak pihak
penggaris kebijakan dan pengambil keputusan. Prospek Ilmu Tanah Dari kenyataan yang dihadapi ilmu tanah dan
latar belakang sejarahnya, timbul berbagai pertanyaan mendasar tentang hari
depan ilmu tanah. Sudahkah ilmu tanah sampai pada akhir perkembangannya?
Apakah ilmu tanah sudah menemukan tempat yang sesuai, baik dalam dunia ilmu
pengetahuan maupun dalam kehidupan masyarakat? Mungkinkah bidang pelayanan
ilmu tanah diperluas, yang tidak saja meliputi bidang pertanian akan tetapi
mencakup pula bidang kegiatan lain yang berkenaan dengan penggunaan wilayah?
Seberapa siap ilmu tanah mengantisipasi pemunculan kenyataan tadi dan
bagaimana konsekuensi pembaharuan pandangan mengenai hakikat tanah dalam
kehidupan manusia atas perancangan dan pengelolaan pendidikan dan penelitian
ilmu tanah? Sekelompok pakar tanah Amerika Serikat pada tahun 1950-an
berupaya menyusun suatu sistem klasifikasi tanah serbacakup (comprehensive)
agar bersifat serbaguna dan tidak hanya berguna bagi kepentingan pertanian
saja. Dengan kata lain para pakar tersebut menginginkan agar informasi tanah
dapat menjangkau berbagai pihak. Setelah
meliwati banyak tahap ujicoba (approximations) dengan kerjasama internasional
luas, akhirnya pada tahun 1975 terbit buku Soil Taxonomy yang dinyatakan
sebagai "a basic system of soil classification for making and
interpreting soil surveys". Buku ini sampai sekarang masih mengalami
perbaikan dan penambahan agar dapat menampung semua fakta tanah yang
ditemukan di semua bagian dunia dan dapat melayani secara lebih baik
kepentingan-kepentingan lain di luar pertanian. Soil Taxonomy disusun oleh
Soil Survey dari Soil Conservation Service USDA dan diterbitkan sebagai
Agriculture Handbook No. 436. Pada tahun 1966 Soil Science Society of America
bersama dengan American Society of Agronomy menerbitkan buku Soil Surveys and
Land Use Planning. Buku ini menyajikan secara jelas kepentingan informasi
tanah berupa peta tanah bagi perencanaan permasyarakatan (community planning)
yang menyangkut pembangunan wilayah pedesaan yang ditempati penduduk bukan
petani, wilayah perkotaan, kawasan rekreasi, taman, dan jaringan jalan utama
(highways). Informasi tanah juga diperlukan untuk penyeragaman penaksiran
pajak bumi. Dengan memperhatikan keadaan tanah, pembangunan sektor bukan
pertanian dapat mencapai efisiensi tinggi dan bersamaan dengan itu memperoleh
wawasan lingkungan (Bartelli et al, 1966). Informasi tanah yang diperlukan
sama dengan yang diperlukan pertanian, akan tetapi penafsirannya tentu
berbeda (Kellogg, 1966). Penerbitan kedua
buku tadi pada paro ke dua abad ke-20 menandai terbitnya jaman pembaharuan
makna ilmu tanah. Pelayanan ilmu tanah diharapkan dapat meluas dan menjangkau
berbagai gatra kehidupan masyarakat. Ilmu tanah ingin dihayati kemaujudannya
oleh seluruh masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat ketanian saja. Pada suatu tahap
perkembangannya, ilmu tanah pernah dibina oleh geologi. Dalam pengkajian
geologi kuarter diperlukan masukan dari telaah pedogenesis. Fakta ini
diungkapkan dalam tulisan-tulisan Tedrow (1973), Jackson et al. (1973),
Yaalon dan Ganor (1973), Mulcahy dan Churchward (1973), Wada dan Aomine
(1973), El/Attar dan Jackson (1973), Gerasimov (1973), Zonn (1973), Ugolini
dan Schlichte (1973), Pons dan van der Molen (1973), van Zindern Bekker dan
Butzer (1973), Birklkeland (1974), Notohadiprawiro (1980), dan Gerrard
(1981). Dalam kurun waktu
25 tahun terakhir terjadi perluasan besar dalam bidang penerapan ilmu tanah,
mencakup arkeologi, ekologi, rekayasa, proyek-proyek pembangunan wilayah, dan
tata ruang (Steur, 1967; Limbrey, 1975; Western, 1978; Buringh, 1978; Jenny,
1980; Soil management Support Service, 1981). Akibat pembaharuan cerapan
mengenai ilmu tanah kemudian melanda pula bidang kajian tradisional ilmu
tanah. Baru-baru ini
penempatan ilmu tanah di bawah naungan pertanian dipertanyakan secara tajam
oleh Presiden Soil Science Society of America, Fredd P. Miller (1991). Maka
keanggotaan dalam SSSA pun harus melalui keanggotaan dalam American Sosiety
of Agronomy (ASA). Dipertanyakannya apakah ilmu tanah tidak perlu mencari
paradigma baru. Kita terbiasa menjatidirikan lembaga menurut asal usul.
Memang benar bahwa pada awalnya ilmu tanah ditangani oleh para pakar yang
terdidik dan terlatih dalam ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, yang
menerapkan asas dan alat mereka pada pengkajian tanah. Disiplin ilmu tanah
mewarisi banyak pandangan dan tata kerja mereka. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya ilmu tanah diasuh dan menjadi dewasa di bawah
pembinaan dan kelembagaan pertanian. Dengan demikian ilmu tanah, pakarnya dan
himpunannya berkarya dengan paradigma ketanian. Dengan meluasnya bidang dan
bertambahnya keberbagaian persoalan yang dapat ditangani ilmu tanah dewasa
ini, muncul gagasan yang makin meluas dan menguat mengenai memilih di antara
dua pilihan. Pilihan itu ialah tetap setia kepada paradigma ketanian yang
telah menjadikan ilmu tanah kokoh dan terhormat namun tetap saja dipandang
sebagai anak asuh pertanian, ataukah mencari paradigma baru yang membuat ilmu
tanah berjatidiri dan berkemandirian secara utuh. Pembaharuan paradigma dapat
berupa mengafiliasikan ilmu tanah dengan ilmu kebumian (earth sciences). Ilmu tanah sendiri
tidak luput dari pengaruh berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Pengaruh terpenting datang dari gerakan pengetatan penggunaan
energi fosil atau energi komersial dan keprihatinan yang terus meningkat
mengenai degradasi lingkungan hidup. Sehubungan dengan kedua hal tadi ilmu
tanah terdorong meninjau ulang konsep dan tafsir faktanya. Kegiatan yang
memakan energi fosil banyak ialah pemupukan dan pembenahan tanah (soil
amendment) dengan bahan kimia buatan, irigasi dan pengatusan dengan bangunan
bersistem gravitasi dan terutama dengan sistem pompa, pengolahan tanah dengan
mesin, dan pemberantasan Persoalan energi
fosil berkenaan dengan pemupukan, pembenahan dan pengolahan tanah
menghadapkan ilmu tanah pada empat pilihan. Pilihan pertama ialah tetap
menggunakan masukan energi fosil bertakaran tinggi seperti sekarang, akan
tetapi bersama dengan itu meningkatkan efisiensi penggunaan berdasarkan
kreterium nisbah keluaran/masukan energi yang meningkat. Pilihan kedua ialah
mengurangi kebutuhan total energi fosil dengan menganekaragamkan pertanaman,
menyelaraskan sistem pembudidayaan pertanaman, atau pewilayahan pertanaman
menurut asas agroekosistem. Pilihan ketiga ialah menyulih sebagian atau
seluruh kebutuhan energi fosil dengan energi hayati yang terbarukan dan lebih
murah. Pilihan keempat ialah gabungan antara berbagai pilihan tersebut.
Pilihan pertama
dalam kaitannya dengan tanah mengupayakan perbaikan efesiensi penyerapan hara
pupuk oleh perakaran tanaman dengan jalan (1) memilih bahan pupuk yang lebih
lambat melepaskan hara, sehingga laju penyediaan hara setaraf dengan laju
penyerapannya dan dengan demikian tidak ada kelebihan yang terbuang, (2)
memasok hara secara berimbang untuk memperoleh tingkat konversi hara menjadi
biomassa berguna yang tinggi, (3) menerapkan teknik pemupukan yang sesuai
dengan sifat tanah untuk mengefektifkan penggunaan hara pupuk, dan/atau (4)
mengelola tanah untuk memperbaiki interaksi antara pupuk dan tanah. Upaya ini
perlu dilengkapi dengan upaya agronomi berupa meningkatkan daya tanaman
mengkonversi masukan energi komersial menjadi keluaran energi hayati berguna
dengan jalan (1) menanam varietas tanaman berhasil panen tinggi, dan (2)
menjadwalkan pemupukan menurut fase-fase fisiologi yang bertanggapan paling
menguntungkan. Segi tanah dari
pilihan kedua berkenaan dengan menghemat pupuk yang diupayakan dengan jalan
(1) memanfaatkan pupuk yang tersisa dari pertanaman terdahulu untuk
pertanaman berikutnya, (2) menyusun pola pergiliran pertanaman yang kebutuhan
pupuk total lebih rendah dari kebutuhan semula dengan budidaya tunggal, (3)
melaksanakan sistem pertanaman yang memanfaatkan sebaik-baiknya potensi tanah
memugar sendiri produktivitasnya, dan/atau (4) memilih tanah yang keadaan
alaminya sesuai dengan kebutuhan suatu macam pertanaman tertentu, berarti
perwilayahan budidaya tanaman menurut kemampuan tanah. Dalam hal pengelolahan
tanah dikerjakan dengan mesin, jalan ketiga juga menghemat energi fosil yang
digunakan untuk mengolah tanah. Energi untuk mengolah tanah juga dapat
dihemat dengan menggunakan bahan pembenah tanah (soil amendment). Dengan
mempertahankan struktur dan konsistensi tanah yang baik, dapat diterapkan
asas pengolahan tanah minimum (minimum tillage), bahkan asas tanpa pengolahan
tanah (zero tillage). Peranan ilmu
tanah dalam pilihan ketiga ialah menemukan alternatif pembekalan hara dalam
tanah. Suatu alternatif yang sekarang yang sedang giat dikembangkan ialah
memapankan di dalam tanah suatu mekanisme hayati pembekalan hara dengan
bioteknologi tanah. Upaya ini dikenal dengan budidaya organik (organic
farming). Budidaya organik merupakan suatu sistem produksi pertanaman yang
berasaskan daur ulang hara secara hayati (Papendick dan Elliott, 1984).
Masukan yang digunakan dalam budidaya organik ialah pupuk organik dan pupuk
hayati (biofertilizer). Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran ameliorasinya
berasal dari kandungan jasad renik aktif. Yang termasuk pupuk hayati antara
lain inokulum Rhizobium, inokulum mikorisa, biakan jasad renik pelarut
fosfat, dan biakan jasad renik pengurai bahan organik. Salah satu upaya
yang termasuk pilihan keempat ialah sistem gizi tanaman terpadu (intergrated
plant nutrition system, IPNS). Dalam IPNS sebagian kebutuhan masukan energi
fosil berupa pupuk buatan kimia disulih dengan masukan energi hayati
terbarukan berupa pupuk organik dan/atau pupuk hayati. Di dalam IPNS
mekanisme hayati dibangkitkan untuk membentuk sistem bekalan hara di dalam
tanah yang efektif dan mantap. Pembentukan ini memerlukan waktu panjang.
Sementara itu digunakan pupuk buatan kimia untuk memasok hara sebelum sistem
bekalan hara hayati dapat berfungsi secara berkelanjutan. Di bawah binaan FAO
(1991) IPNS tengah digalakkan di kawasan Kepentingan
mendesak akan penggunaan energi baru dan terbarukan yang diprioritaskan pada
energi pedesaan, dicetuskan dalam "Nairobi Programme of Action".
Program ini kemudian didukung FAO dalam sidangnya yang ke-21 di Roma dalam bulan
November 1981 dan dipertegas kembali dalam Sidang Regional FAO untuk Beberapa tahun
sebelumnya East-West Center di Honolulu, Dalam gambarannya
mengenai pertanian pada abad ke-21, Wittwer (1983) meramalkan bahwa teknologi
produksi pangan akan bergeser dari teknologi bermekanisasi berat yang
menggunakan lahan, air dan energi secara intensif ke teknologi yang lebih
berdasarkan biologi dan berkiblat ilmiah, yang menghemat sumberdaya lahan,
air dan energi. Teknologi tersebut pertama, yang sekarang diterapkan terutama
di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Brasil dan Argentina,
mempunyai keunggulan dalam hal keluaran tiap pekerja usahatani tertinggi di
dunia. Teknologi tersebut kedua, yang dewasa ini pada umumnya dilaksanakan di
Jepang, Taiwan, Cina dan Eropa Barat, mempunyai keunggulan dalam hal hasil
panen lebih tinggi tiap satuan luas lahan dan sering juga disertai dengan
indeks pertanaman (cropping index) yang lebih tinggi. Memang produktivitasnya
per pekerja usahatani tidak setinggi teknologi pertama. Dengan kata lain,
dunia kita akan berpindah dari ekonomi yang digerakkan oleh permintaan dengan
pandangan ketidakterbatasan sumberdaya ke suatu ekonomi yang berwawasan
keterbatasan sumberdaya. Dalam kaitannya
dengan tanah, gambaran pertanian abad ke-21 mengisyaratkan upaya menyidik
kebutuhan keharaan optimum berbagai spesies tanaman dan merunut sumbangan
flora dan fauna tanah kepada penyediaan hara yang bersumber dalam atmosfer
dan tanah. Mekanisme sistem hayati yang berkomponen ganda dan kompetitif
perlu ditelaah mendalam untuk mencapai produktivitas optimum. Hal ini tidak
lain daripada upaya mengembangkan budidaya organik atau IPNS dengan pupuk
organik dan pupuk hayati . Penggunaan jasad renik penambat nitrogen udara,
baik yang hidup bebas maupun yang hidup bersimbiosis dengan tanaman tingkat
tinggi (legum), terbukti dapat mengurangi banyak kebutuhan pupuk nitrogen
buatan. Pendauran ulang sisa atau limbah hayati, baik melalui pencernaan
ternak yang menghasilkan kotoran ternak atau pupuk kandang, melalui
pengomposan yang menghasilkan kompos, maupun melalui perombakan biologi
langsung dalam tanah yang merupakan pupuk hijau, tidak sedikit mengurangi
kebutuhan pupuk buatan, khususnya pupuk N dan P. Inokulasi
mikorisa pada tanaman sangat meningkatkan daya akar menyerap hara, terutama
P, dan air, sehingga penggunaan hara dan air menjadi lebih hemat.
Diperkirakan perlumbuhan mikorisa yang baik memperluas permukaan serapan akar
sampai 1000 kali. Dengan biakan jasad renik pelarut fosfat, pupuk fosfat
buatan yang mahal (TSP) dapat disulih dengan pupuk fosfat alam yang murah dan
awet dalam tanah. Menyulih TSP dengan fosfat alam di tanah yang kaya akan
oksida dan hidroksida Fe dan Al (tanah merah tropika) meningkatkan
efektivitas pemupukan P. Penggunaan pupuk
organik atau mulsa menjadi prasyarat bagi penerapan pengolahan tanah terbatas
atau nihil. Bahan-bahan tersebut juga berperan penting dalam konservasi tanah
dan air. Konservasi air dalam tanah berarti mengurangi kebutuhan akan air
irigasi, dan hal ini pada gilirannya membatasi keperluan membangun bendung
(weir) atau waduk, atau memasang pompa untuk menaikkan air sungai atau air
tanah. Sistem konservasi air yang baik, yang menyatu dengan sistem budidaya
pertanaman, akan mendorong perkembangan pertanian tadah hujan. Pertanian tadah
hujan memanfaatkan energi alam gravitasi untuk menyampaikan air dari atmosfer
langsung kepada petak pertanaman. Ada dua
keuntungan yang dapat diperoleh dari sistem pertanian tadah hujan. Keuntungan
pertama ialah tidak ada kehilangan lahan produksi karena ditempati oleh waduk
dan jaringan saluran penyalur dan pembagi air sebagaimana halnya pada sistem
pertanian beririgasi. Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa untuk mengairi
lahan sawah seluas 20-25 ribu ha diperlukan lahan seluas tidak kurang
daripada 10 ribu ha yang harus dikorbankan untuk menempatkan waduk dan
jaringan saluran penyalur dan pembagi air mulai dari tingkat primer sampai
dengan tingkat kuarter. Keuntungan kedua ialah tidak ada kerugian air yang
hilang dalam simpanan di dalam waduk karena penguapan yang dipacu oleh
bentangan permukaan air bebas yang luas dan diam yang menyebabkan suhu air
dapat naik lebih tinggi, dan tidak ada air yang hilang merembes liwat dinding
dan dasar saluran penyalur dan pembagi air. Kehilangan air sebanyak 30% boleh
dibilang umum terjadi di jaringan saluran tersier pada lahan pantai di Jawa. Hujan merupakan
sumber air paling murah. Di daerah dengan curah hujan tahunan purata di atas
1200 mm dapat diusahakan pertanaman semusim tadah hujan dengan potensi
produksi setaraf dengan yang beririgasi (Roy & Arora, 1973). Masalahnya
ialah bagaimana menangkap air hujan sebaik-baiknya, mengalihrupakannya secara
efektif menjadi lengas tanah yang berguna bagi tanaman, mengawetkan lengas
tanah sehingga dapat memenuhi kebutuhan tanaman sampai hujan berikutnya
jatuh, dan bilamana perlu membuang kelebihan air secara aman tanpa
menimbulkan erosi tanah dan pelindian hara (leaching of nutrients) yang
melampui batas terbolehkan (permissible limit). Di sinilah peranan ilmu tanah
menonjol. Ilmu tanah tidak pernah menganjurkan irigasi penuh, kecuali di
daerah-daerah yang beriklim terlalu kering selama seluruh musim tanam.
Penggunaan sumber air permukaan dan air tanah untuk irigasi suplemental
adalah cara pengelolaan sumber terbaik. Dalam cara itu sudah dipertimbangkan
pengawetan sumber air dan pemerataan beban penggunaan antar berbagai sumber
air. Kalau diperlukan
irigasi atau pengatusan, penggunaan energi gravitasi jauh lebih baik daripada
menggunakan pompa yang memakan banyak energi komersial. Apalagi kalau pompa dijalankan dengan energi listrik
yang dikonversikan dari energi fosil minyak. Efisiensi konversinya pada
lazimnya tidak lebih daripada 35%. Kebutuhan energi komersial untuk irigasi
atau pengatusan dapat ditekan serendah-rendahnya apabila listrik yang
digunakan menjalankan pompa berasal dari PLTA atau yang dibangkitkan secara
fotovoltaik Irigasi di daerah langka hujan perlu
disertai kewaspadaan terhadap kemungkinan penggaraman tanah. Karena penguapan
kuat, lambat laun terjadi pemekatan garam yang terlarut dalam air, yang
kemudian mengendap dan melonggok dalam tanah. Tanah yang semula normal
berubah menjadi tanah garaman. Apabila pelonggokan garam mencapai kadar
gawat, tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh, kecuali yang sangat tahan
garam, misalnya pohon korma, bayam dan kapas, atau tumbuhan halofita liar.
Makin kering iklimnya, berarti makin besar evaporasinya daripada curah
hujannya, makin tinggi kadar garam terlarutkan dalam air irigasi, dan/atau
makin lambat permeabilitas tubuh tanah, bahaya penggalarnan tanah karena
irigasi makin besar. Kejadian semacam inilah yang telah menghancurkan
pertanian yang semula sangat subur di lembah sungai Eufrat - Tigris pada
jaman kerajaan Mesopotamia yang sekarang menjadi negara Irak. Pengetahuan
tentang kimiawi air irigasi, laju evaporasi, reaksi pertukaran ion antara
larutan tanah dan kompleks jerapan tanah, serta laju perkolasi air sepanjang
tubuh tanah, diperlukan secara mutlak bagi perencanaan irigasi di daerah
iklim kering. Ilmu tanah berkepentingan dengan
peningkatan efektivitas penggunaan energi pancar matahari untuk fotosintesis
sehubungan dengan peningkatan penghasilan biomassa nabati. Peningkatan
produksi biomassa nabati diperlukan untuk memperbanyak sisa pertanaman yang
dapat didaurkan ulang sebagai pupuk organik atau mulsa untuk memperbaiki
produktivitas tanah, atau mempertahankan kebaikannya, dan menyehatkan
ekosistem tanah. Menyehatkan ekosistem tanah, disamping diperlukan sehubungan
dengan memantapkan produktivitas tanah dan meningkatkan efektivitas pupuk,
juga berguna menekan penyakit lewat tanah (soil-borne diseases) yang
menyerang akar dan pangkal batang tanaman (Lynch, 1983; Christensen, 1987).
Maka ilmu tanah dapat berbicara banyak dalam merancang pola tanam dan sistem
pertanaman dengan agronomi. Dengan konsep penyehatan tanah, ilmu tanah dapat
membantu upaya menghemat pestisida, yang berarti menghemat energi fosil atau
energi komersial dan menekan bahaya pencemaran atas perairan. Dengan sifat-sifat fisik, kimia dan
biologinya, suatu hamparan tanah dapat digunakan membersihkan limbah industri
dan permukiman dari bahan atau zat pencemar. Dengan struktur yang dimilikinya, tanah dapat
menyaring bahan pencemar yang tersuspensi dalam limbah cair. Dengan kemampuan
menukar ion pada mineral lempung dan bahan humus yang dikandungnya, tanah
dapat menyerap zat pencemar berupa ion yang terlarut dalam limbah cair.
Dengan populasi jasad renik pengurai yang hidup di dalamnya, tanah dapat
menguraikan senyawa organik pencemar menjadi senyawa organik sederhana atau
senyawa mineral yang tidak berbahaya. Dengan demikian ilmu tanah dapat
menyumbang kepada rekayasa sanitasi lingkungan. Orang yang pernah
berkendaraan mobil meliwati perbukitan napal (marl) atau gamping yang
bertanah hitam, tentu merasakan ayunan khas bagaikan naik kapal. Hal itu
disebabkan karena tanah semacam itu (vertisol) mempunyai konsistensi yang
amat goyah berkenaan dengan kandungan mineral lempung montmorilonit yang
merajai. Sewaktu basah tanah ini mudah membengkak, melunak dan menjadi sangat
liat, sedang sewaktu kering mudah mengerut, meretak lebar dan menjadi sangat
keras. Oleh tekanan beban tanah yang basah cenderung melongsor, dan tanah
yang kering cenderung gugur masuk ke dalam retakan-retakan. Maka karena
pengaruh perubahan kelembaban musiman permukaan tanah vertisol menjadi
bergelombang, atau disebut mempunyai timbulan mikro (microrelief) gilgai.
Dengan teknologi perangai tanah ini dapat dikendalikan. Perubahan kadar
lengas dalam tanah dicegah jangan sampai terlalu besar agar supaya
konsistensi tanah lebih mantap, atau struktur tanah dimantapkan dengan bahan
pembenah tanah (soil conditioner) sehingga konsistensi tanah tidak mudah
berubah karena perubahan kadar air. Berdasarkan peta tanah rencana jalur
jalan raya dapat dibuat menghindari daerah bertanah vertisol, atau bilamana
tidak mungkin menghindarinya dapat menetapkan ruas jalan mana dan berapa
panjangnya yang memerlukan konstruksi khusus. Jadi, peta tanah yang semula
dibuat untuk keperluan pertanian, dapat dimanfaatkan untuk rekayasa jalan
raya. Laporan penyigian
tanah (soil survey) dan peta tanah bermanfaat pula untuk menyusun rencana
tata permukiman dan peruntukan kawasan industri. Misalnya, sanitasi
lingkungan tempat tinggal perlu menetapkan berapa jarak aman menurut ukuran
kesehatan antara sumur rumah tangga dan comber (sepptic tank), berapa besar
ukuran comber yang efektif, atau berapa ukuran dan kerataan sumur resapan
yang diperlukan untuk mempertahankan kelancaran pengatusan dan pengisian
cadangan air tanah. Hal-hal itu tergantung pada daya resap tanah atau daya antar
airnya ke arah samping dan ke arah bawah, baik dalam keadaan tak jenuh maupun
dalam keadaan jenuh Peta tanah berisi
petunjuk jalur dan jeluk (depth) penanaman jaringan pipa penyalur minyak atau
air untuk menghindari atau sekurang-kurangnya membatasi kerusakan pipa karena
korosi oleh tanah masam sulfidik atau sulfurik, atau keretakan karena tekanan
tanah vertik yang membengkak dan mengerut kuat sejalan dengan perubahan kadar
air musiman. Korosi pipa penyalur minyak menjadi persoalan berat di daerah
perminyakan Dengan peta tanah
pemekaran Perkembangan Masa
Depan Penelitian Ilmu Tanah Perjalanan waktu
dengan dampak dramatik telah memaksa ilmu tanah memperbaharui paradigmanya.
Urusan ilmu tanah berubah dengan laju cepat. Perkembangan teknik percobaan
dan peralatan mendorong pengkajian ulang persoalan lama dan diperoleh
pemahaman baru. Khususnya penggunaan acuan matematik telah memaksa terjadinya
banyak perubahan. Ilmu tanah sekarang kurang berkiblat disiplin. Dulu batasan
antar bagian ilmu tanah jelas dan ilmu tanah semata-mata merupakan bidang
kerja para pakar tanah. Sekarang bagian-bagian ilmu tanah cenderung berbaur,
saling mengisi dan saling mendukung, dan penyelesaian persoalan tanah
tertentu memerlukan kegiatan bersama antara pakar tanah dan pakar lain.
Misalnya, dalam kajian mengenai perilaku akar dalam tanah dan interaksi
tanah-tanaman-atmosfer diperlukan kerjasama dengan pakar fisiologi tumbuhan.
Dalam hal evaluasi penerapan organisme yang direkayasa secara genetik pada tanah
diperlukan kerjasama dengan pakar mikrobiologi. Muncul pula pertanyaan,
apakah kepakaran lain tersebut dapat dikembangkan di kalangan para pakar
tanah sendiri (Boersma, 1987). Pendek kata, penelitian ilmu tanah masa depan
bersifat serbacakup dengan konsep holistik. Apa pun tujuan
akhir suatu kajian tanah, penyelesaian analitik memegang peran penting karena
hasilnya menjadi dasar perencanaan dan pelaksanaan percobaan laboratorium dan
lapangan atau pengujian acuan numerik (Parlange et al., 1987). Ini berarti bahwa penelitian ilmu tanah
masa depan makin memerlukan kecakapan mengolah ilmu dasar, seperti fisika,
ilmu kimia, biologi dan matematika Dalam hal fisika tanah persoalan yang tetap
penting ialah pengangkutan air dan larutan dalam tanah, mekanisme fisik dan
kimia tanah yang berdaya pengaruh atas pengangkutan tersebut, khususnya yang
berlangsung pada aras mikroskopik untuk dapat menjelaskan gejala yang diurusi
pada aras makroskopik, dan pendalaman tentang makna agihan besar butir
(particle-size distribunons) dalam memberikan informasi penting tentang sifat
lengas tanah (Parlange et al., 1987; Wierenga, 1987). Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa dinamika dan statika air dalam tanah menjadi masalah yang
menduduki tempat penting dalam penelitian fisika tanah pada masadepan. Hal
ini tidak saja menonjolkan kepentingan tanah dalam menyediakan air bagi
masyarakat nabati pada umumnya dan bagi pertanaman (crops) pada khususnya,
akan tetapi juga menonjolkan kepentingan tanah dalam daur hidrologi. Pembukaan lahan alami menjadi lahan binaan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan penyediaan tempat tinggal penduduk,
serta konversi penggunaan lahan dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain,
dapat diramalkan akan melaju semakin cepat. Sehubungan dengan ini masalah
pengusikan tanah yang mengarah ke erosi tanah, longsoran lahan (landslide)
dan pemampatan tanah (soil compaction) akan tetap menjadi bahan penelitian
fisika tanah penting, bahkan bertambah penting, pada masa mendatang. Menurut
McCoy (1987) pemampatan tanah merupakan persoalan pertanian utama yang
kegawatannya meningkat berkenaan dengan perluasan mekanisasi, penggunaan
mesin dan alat yang makin besar dan berat, pengolahan tanah yang makin
intensif, dan penjadwalan pekerjaan lapangan yang buruk berkenaan dengan kandungan
air kritik dalam tanah yang berkaitan dengan cuaca atau musim basah Penjadwalan yang
buruk dapat terjadi karena mengejar intensitas pertanaman (cropping
intensity) yang tinggi. Dalam hal pembukaan lahan baru penjadwalan yang buruk
sering berkenaan dengan pengejaran sasaran luas pembukaan yang harus dicapai
dalam suatu jangka waktu tertentu, sebagaimana terjadi pada pembukaan lahan
untuk transmigrasi di Pemampatan tanah
berakibat buruk atas hasil panen pertanaman, terutama karena perubahan yang
terjadi dalam lingkungan akar tanaman. Penyingkiran persoalan pemampatan
tanah dapat diusahakan lewat pengertian yang lebih baik mengenai mekanisme
tanggapan pertanaman terhadap pemampatan pada aras antar muka (interface
level) akar dengan tanah. (McCoy, 1987). Umat manusia
menghadapi tantangan penyelamatan lingkungan hidup dan konservasi sumberdaya
alam yang makin kuat. Ilmu kimia tanah dan mikrobiologi tanah berpotensi
besar membantu mencarikan jawaban atas tantangan itu. Jawabannya diusahakan
lewat berbagai jalan, antara lain membatasi penggunaan pupuk buatan,
mendaurulangkan sisa pertanaman dan limbah organik, menerapkan bioteknologi
tanah dalam produksi pertanian, termasuk penyehatan ekosistem tanah dan
penggunaan pupuk hayati (biofertilizers), dan memanfaatkan kemampuan tanah
berfungsi sebagai piranti sanitasi. Berkenaan dengan
hal-hal tadi penelitian tanah pada masa mendatang perlu diarahkan ke
pengembangan pengetahuan tentang kinetika proses kimia dan biologi tanah.
Kinetika proses yang khusus masih perlu didalami ialah yang menyangkut
mekanisme reaksi adsorpsi - desorpsi di permukaan bahan penyusun tanah,
dinamika pelarutan dan pengendapan. mineral dalam tanah, kerjasama kimiawi
permukaan bahan mineral dengan bahan organik dalam reaksi katalisis, proses
pendauran hara secara hayati, dan interaksi tanaman - mikrobia di dalam
risosfer (Elliott & Fredrickson,1987; Mortland,1987; Sparks,1987;
Stevenson, 1987). Pada waktu ini bioteknologi tanah baru
berada pada awal perkembangannya. Prospeknya sangat cerah, baik dilihat dari
segi penyuburan tanah, penyehatan ekosistem tanah dalam arti menekam populasi
jasad patogen tanaman dan jasad pemukim akar yang menghambat pertumbuhan akar
(inhibitory root colonizers), maupun dari segi pembersihan tanah yang tercemar
(Elliott & Fredrickson, 1987; Focht, 1987; Stevenson, 1987). Banyak hal
masih perlu diketahui dan didalami sebelum bioteknologi tanah dapat
diterapkan secara berhasil. Untuk ini diperlukan penelitian yang mendalam
mengenai ekologi mikrobia tanah (Schmidt, 1987) dan biokimia tanah, termasuk
kinetika biodegradasi sehubungan dengan genetika dan evolusi jasad (Focht,
1987; Stevenson, 1987). Inilah masalah- masalah yang menantang untuk diteliti
pada masa mendatang. Di bidang kesuburan tanah masih tetap dihadapi
persoalan pengelolaan dan penyuburan tanah untuk mencapai hasil panen
maksimum menurut ekonomi secara berkelanjutan. Maka rekomendasi pupuk dan
pemupukan pada masa mendatang diberikan berdasarkan evaluasi dampak
lingkungan dan ekonomi potensial. Karena banyak faktor yang harus
diperhitungkan bersama-sama, teknologi komputer dan teknik analisis sistem
menjadi alat pokok bagi seorang pakar kesuburan tanah. Sistem uji tanah perlu
dikembangkan untuk dapat menghasilkan informasi terandalkan dan dapat lebih
mudah dinasabahkan (related) dengan cuaca atau musim, ketersediaan air bagi
pertanaman, sistem pengolahan tanah, varietas tanaman, jarak tanam, dan
pergiliran pertanaman. Kesuburan tanah tidak lagi difahami menurut konsep
Liebig, Mitscherlich- Baule-Spillman, atau konsep kimiawi-fisiologi sederhana
yang lain (Halvorson & Murphy, 1987; Westerman & Tucker, 1987).
Penelitian kesuburan tanah menyangkut banyak parameter dan hasilpanen suatu
pertanaman ditentukan oleh seperangkat faktor abiotik - biotik - agronomi -
rekayasa yang berinteraksi secara rumit. Kajian pengelolaan hara perlu memperhatikan
ekologi patogen tanaman lewat tanah (soilborne) agar jangan sampai justru
mengaktifkannya, syukur dapat menekan daya serangnya (Christensen, 1987), dan
memperhatikan sistem perakaran tanaman dan nasabah akar - trubus (root -
shoot relationship) untuk memperoleh kesudahan yang lebih memuaskan (Grunes,
et al., 1987). Kegaraman dan kemasaman tanah tetap menjadi
pumpun (focus) perhatian dalam masalah kesuburan tanah. Untuk dapat meneliti
secara cermat interaksi kegaraman tanah dengan keluaran tanaman diperlukan
sekali acuan fisiologi serbacakup (comprehensive physiological model) yang
memerikan (describe) mekanisme ketenggangan (tolerance) garam dalam tanaman.
Dalam hal kemasaman tanah diperlukan pengetahuan tentang peran bahan organik,
asam organik, dan dandanan (make-up) mineralogi tanah atas kegiatan A1 dan
kadarnya dalam larutan tanah serta kejenuhannya pada kompleks pertukaran.
Kimiawi A1 yang rumit perlu difahami secara baik (Adams & Doerge, 1987). Dalam upaya pemahaman hakekat unsur-unsur
logam peracun tumbuhan, muncul konsep antimetabolit. Suatu logam beracun yang
dalam Daftar Periodik Unsur berada dalam golongan yang sama dengan suatu
unsur hara penting dapat menjadi antimetabolit unsur hara tersebut. Apabila
suatu antimetabolit beracun menyulih kedudukan unsur hara dalam suatu ensim
atau proses yang memerlukan unsur hara tersebut, dapat diharapkan terjadi
penghalangan metabolisme. Misalnya
Al menyulih B, As menyulih P, Se menyulih S, dan Cd menyulih Zn (Blevins,
1987). Dengan konsep antimetabolit perkara kesuburan dan cekaman (stress)
kimiawi tanah beroleh latar belakang biokimia tumbuhan yang kuat. Pedogenesis
merupakan salah satu gatra (aspect) pokok tanah yang menelaah sejarah
pembentukan dan perkembangan tanah serta latar belakang produktivitas tanah.
Kini makin banyak orang mengakui kepentingan pengetahuan tentang pedogenesis
dan paleosol (tanahpurba) untuk penelitian arkeologi, geomorfologi, dan
geologi kuarter (a.l. Tedrow, 1973; Ugolini & Schlichte, 1973; Zorm,
1973; Limbrey, 1975; Foss & Collins, 1987). Tanah ikut dalam
interaksi yang berlangsung antar komponen lingkungan sehingga banyak
perubahan dalam lingkungan meninggalkan jejak pada tanah. Sehubungan dengan
ini pertanyaan mendasar yang diajukan dewasa ini ialah "bagaimana tanah
alamiah bereaksi terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan yang diimbas
(induced) oleh manusia?" Pengetahuan tentang pedogenesis dapat
mencarikan jawabannya dan dengan demikian dapat membantu merancang
pengelolaan lingkungan (Bryant & Olson, 1987). Informasi tanah
diperlukan oleh kalangan yang makin luas, tidak hanya terbatas oleh kalangan
pertanian dan yang berkaitan dengan pertanian atau tanaman. Untuk keperluan
konstruksi diperlukan informasi tanah. Misalnya untuk merancang fondasi
bangunan, untuk membatasi kebocoran saluran pembekal air pertanian,
rumahtangga atau industri, atau pembuang limbah cair, dan untuk menghindari
tanah yang berdaya korosi kuat atas bagian konstruksi yang ditanam dalam
tanah, atau untuk menetapkan di tempat mana bagian konstruksi perlu
dilindungi dengan bahan tahan korosi kalau tanah semacam itu terpaksa tidak
dapat dihindari. Pipa penyalur minyak yang terpaksa melewati tanah sulfat
masam menghadapi persoalan korosi berat, misalnya di daerah Semua informasi
tanah yang diperlukan oleh berbagai kalangan perlu diperhatikan dalam menyigi
tanah (soil survey) agar peta tanah yang dihasilkan menjadi sistem informasi
tanah serbaguna. Tantangan yang dihadapi ilmu tanah pada masa mendatang ialah
membuat dirinya berguna bagi berbagai pihak, tidak hanya untuk pertanian
saja. Maka diperlukan pembaharuan sistem informasi tanah (SIT). Peta tanah
merupakan SIT yang sudah lama dikenal baik oleh masyarakat. Namun untuk menyajikan informasi tanah
serbaguna kemampuan peta tanah terbatas. Data yang telah diolah menjadi suatu
peta tidak siap untuk diolah ulang untuk menghasilkan informasi lain. Maka di
samping peta tanah perlu dikembangkan SIT terkomputer yang tidak saja
melancarkan pemasukan dan pengambilan kembali (retrieval) data, akan tetapi
juga memperbanyak data yang dapat dimasukkan dan parameter yang dapat
dicakup, dan memungkinkan mengolah ulang data untuk memperoleh informasi
lain. Dengan mengganti asas Linnean (skala biner
atau dikotomi) dengan asas numerikal (skala nominal, pencirian
"multistate", analisis "cluster" atau analisis
diskriminan ganda), klasifikasi tanah menjadi jauh lebih gayut (relevant)
dengan hakekat tanah. Hal ini pada gilirannya meningkatkan sekali harkat peta
tanah sebagai sumber informasi. Penggunaan asas matematika ini tidak saja
melancarkan klasifikasi tanah (memilahkan tanah menjadi berbagai kelas), akan
tetapi juga memudahkan alokasi atau identifikasi tanah (memasukkan tanah dalam
kelas-kelas yang sesuai). Akhir-akhir ini pemetaan tanah juga
mengalami kemajuan yang sangat berarti dengan penerapan geostatistik. Dengan
cara ini penggarisan batas satuan peta tanah menjadi lebih terandalkan.
Semula keragaman tanah dalam ruang dianggap rambang (random) karena perubahan
sifat tanah ke arah lateral tidak dapat dipertalikan (related) dengan sebab
yang terkenali. Dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang tanah sebagai
sistem terungkaplah bahwa sebagian keragaman rambang temyata merupakan
keragaman sistematis. Ini berarti bahwa perubahan sifat tanah dapat dikaitkan
dengan sebab yang terkenali. Keragaman berskala besar tidak menimbulkan
kesulitan dalam pengamatan, pengukuran, dan pengenalan sebab yang menimbulkan
(timbulan, bahan induk, hidrologi, dan sebagainya). Maka penentuan batas
antar satuan peta tanah dapat mudah dikerjakan secara interpolasi. Akan
tetapi keragaman berskala kecil, karena sulit diamati, diukur secara cermat
dan ditentukan sebab-sebab yang menimbulkannya, sering memberikan kesan
sebagai galat rambang (random error) dalam pengamatan, sehingga lepas dari
perhatian sebagai tanda perubahan satuan peta tanah. Padahal keragaman
tersebut sebenarnya merupakan keragaman sistematis. Akibatnya, pemilahan
satuan peta tanah menjadi tidak cermat. Statistik biasa tidak dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keragaman sistematis, karena
selalu berpangkal pada hipotesis nihil (null hypothesis) yang keragaman harga
variabel dalam suatu populasi dianggap timbul secara rambang. Geostatistik
menggunakan teori otokorelasi dan semi-varian untuk memerikan (describe)
perubahan harga variabel medan menurut jarak. Konsep yang mendasarinya ialah
bahwa suatu harga variabel merupakan akibat kedudukan titik pengamatan dalam
bentanglahan (landscape) dan kaitannya dengan titik-titik pengamatan
tetangganya. Diasumsikan bahwa pengamatan jarak dekat menghasilkan harga
variabel yang lebih mirip satu dengan yang lain daripada yang berjarak lebih
jauh. Dalam analisis keragaman dalam ruang geostatistik berguna untuk
menginterpolasi harga variabel secara optimum di tempat-tempat yang tidak
diamati. Konseptualisasi Ilmu Tanah Agar mampu melayani kepentingan berbagai
kalangan, ilmu tanah perlu mencari paradigma baru. Dengan pembaharuan
paradigma, ilmu tanah tidak lagi semata-mata menjadi bagian ilmu-ilmu
pertanian. Pelayanannya kepada ilmu- ilmu pertanian hanyalah salah satu
tugasnya. Ilmu tanah menjadi bagian ilmu- ilmu kebumian (earth sciences)
bersama dengan geofisika, geomorfologi, stratigrafi, paleontologi,
mineralogi, petrologi, sedimentologi, volkanologi, meteorologi, klimatologi,
hidrologi, hidrografi, dan oseanografi. Ada tiga faktor yang menyebabkan ilmu tanah
berkembang pesat sejak kira- kira pertengahan abad ke-20 ini, baik dalam hal
hakekatnya sebagai ilmu maupun dalam hal kegunaannya bagi masyarakat luas.
Faktor pertama ialah masukan hukum, teori dan tata kerja (termasuk peralatan)
ilmu-ilmu dasar secara efektif, seperti fisika, ilmu kimia, biologi dan
matematika. Faktor kedua ialah pengakuan universal
hakekat tanah sebagai sumber daya alam terbarukan. Faktor ketiga adalah
kemajuan yang sangat berarti dalam klasifikasi tanah, penghimpunan informasi
tentang tanah sebagai bagian dari sistem informasi geografi (SIG), dan pemetaan
tanah dengan teknik penginderaan jauh. Peranan faktor
pertama sangat berarti yang menyebabkan ilmu tanah memperoleh kesanggupan
besar menelaah secara mendalam berbagai persoalan tanah dan yang berkaitan
dengan tanah. Salah satu penemuan yang menonjol ialah bahwa kebanyakan tanah
tropika menghendaki asas pengelolaan yang berbeda dengan yang dikembangkan
berdasarkan teori dan pengalaman yang diperoleh di kawasan iklim sedang.
Kebanyakan tanah tropika dirajai oleh mineral lempung bermuatan rendah, karena
itu beraktivitas rendah (low activity clay, LAC), dan bermuatan terubahkan
(variable charge), yang tingkat dan tanda muatannya bergantung pada pH. Tanah
kawasan iklim sedang tersusun atas lempung bermuatan sedang sampai tinggi dan
tetap (permanent charge). Konsekuensi dalam pengelolaan tanah antara lain
pengapuran yang menjadi salah satu teknologi unggulan memperbaiki
produktivitas tanah-tanah masam di negara beriklim sedang tidak dapat
diterapkan begitu saja di negara beriklim tropika. Matematika mencermatkan
daya kerja ilmu tanah, termasuk perancangan klasifikasi dan sistem informasi
tanah serta pelaksanaan pemetaan tanah (de Gruijter, 1977; Webster, 1979).
Kemajuan dalam ilmu tanah meningkatkan kesanggupannya melayani masyarakat
dengan informasi yang lebih terandalkan. Pengakuan
universal hakekat tanah sebagai sumberdaya alam terbarukan menyebabkan
pengetahuan tentang tanah tidak mungkin diabaikan dalam merancang pembangunan
dan pengembangan wilayah. Tanah sebagai hakiki wilayah dan pengetahuan dapat
mengisi kebulatan kebijakan tataguna lahan. Di samping sebagai sumberdaya
alam terbarukan dan ekosistem, tanah secara timbal balik menentukan nilai
guna sumberdaya alam yang lain, yang bersama dengan tanah membentuk kesatuan
lahan. Dari pemahaman
faktor-faktor pemacu kemajuan ilmu tanah dan arah perkembangan ilmu tanah,
baik yang sudah tampak maupun teramalkan, timbul sejumlah konsekuensi penting
sekali atas perancang-bangunan pendidikan berupa kurikulum dan pelaksanaan
pengajaran ilmu tanah di perguruan tinggi. Kurikulum ilmu tanah perlu disusun
dan pengajarannya perlu dilaksanakan dengan mengingat hal-hal berikut ini. Klasifikasi dan
pemetaan tanah, serta pemekarannya menjadi klasifikasi dan pemetaan kemampuan
dan kesesuaian lahan, merupakan saluran informasi dan sarana komunikasi yang
penting sekali antara ilmu tanah dan masyarakat. Maka pelatihannya menjadi
bagian mutlak pendidikan ilmu tanah. Peta tanah
merupakan dokumen inventarisasi sumberdaya tanah yang sangat perlu, yang
berisi informasi tentang harkat aktual dan potensial tanah di setiap tempat.
Peta tanah juga dapat digunakan sebagai medium umpanbalik penting kepada
penelitian tanah. Dengan peta tanah dapat diadakan pentahkikan (verification)
hipotesis proses pembentukan tanah atau peran faktor pembentuk tanah. Sayang sekali
kecakapan membaca peta tanah belum merata di kalangan para pejabat pembuat
kebijakan, pengawas pembangunan wilayah dan pelaksana kegiatan fisik
pembangunan wilayah. Mereka belum
memahami hubungan antara skala peta dan jumlah serta rincian informasi tanah
yang dikandung satuan peta tanah. Akibatnya, ada yang menggunakan peta tanah
melebihi batas keterandalan informasi yang dikandungnya, artinya menggunakan
suatu peta tanah berskala kecil untuk suatu perancangan yang seharusnya
menggunakan peta tanah berskala lebih besar. Sebaliknya, ada yang menilai
kadar informasi peta tanah berskala kecil dengan kriteria baku kadar
informasi peta tanah berskala besar. Akibatnya, mereka menilai peta tanah
yang dimiliki tidak berguna untuk rancangan pembangunan apa pun. Maka melatih
membaca peta tanah masyarakat pengguna lahan dan pihak-pihak yang terlibat
atau bersangkutan dengan pembangunan wilayah menjadi salah satu acara penting
darma pengabdian kepada masyarakat. Acara semacam ini dapat dimasukkan dalam
program kuliah kerja nyata (KKN), sambil melatih mereka mengenali sumberdaya
tanah sebagai suatu kimah (asset) yang tersediakan di wilayah mereka. Seorang pakar tanah yang tidak menguasai
pengertian tentang hakekat ruang dan waktu dari gejala tanah tidak memiliki
konsep serbacakup yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan tanah yang
pada umumnya bersifat luas dan rumit. Orang tersebut cenderung terpancang
pada suatu pandangan yang memperlakukan gejala tanah sebagai suatu kenyataan
yang berdiri sendiri, baik pada skala ruang maupun pada skala waktu.
Pandangan semacam ini melemahkan konseptualisasi persoalan tanah secara
makro. Padahal dalam pembangunan nasional diperlukan konsep makro terlebih
dulu untuk menyiapkan landasan yang kokoh bagi penerapan konsep mikro. Konsep
mikro yang memperlakukan gejala tanah sebagai sesuatu yang bersifat statis
dan terisolasi dari pengaruh atau interaksi dengan gejala tanah sekitarnya,
diterapkan pada komponen pembangunan nasional berupa proyek individual. Tanpa
kerangka yang disiapkan dengan konsep makro, proyek individual akan berjalan
sendiri terlepas dari keteraturan sistem pembangunan. Bahkan proyek tersebut
dapat saling berbenturan. Dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJPT
II) Indonesia masih memerlukan lebih banyak pakar tanah yang berpandangan
makro daripada yang berpandangan mikro. Kebutuhan ini harus tercermin pada
kurikulum, sistem pengajaran dan pengarahan penelitian ilmu tanah Penelitian tanah, apa pun segi dan
tujuannya, perlu menggunakan banjar faktor tahana (state factor sequences)
menurut tempat dan waktu sebagai kerangka telaah. Dengan kata lain, setiap
hasil penelitian harus dapat didudukkan pada suatu sistem lahan tertentu yang
ditakrifkan (defined) jelas. Sistem
lahan tersebut dikenal dengan sebutan tapak tolok (benchmark site) dan
penelitiannya menjadi penelitian tolok (benchmark research). Hanya dengan
demikian setiap hasil penelitian tanah dapat menyumbang kepada inventarisasi
sumberdaya tanah dan kepada kemajuan ilmu tanah yang pada hakekatnya
merupakan ilmu lapangan. Maka pengamatan, pengukuran dan percobaan lapangan
menjadi kegiatan pokok penelitian tanah, sedang kegiatan di laboratorium dan
rumah kaca berfungsi komplementer. Dengan penelitian yang dikerjakan semata-mata
di laboratorium atau rumah kaca, kerumitan (complexity) persoalan
sesungguhnya tidak terungkapkan secara baik karena permainan peluang tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hasilnya memberikan gambaran yang
sedikit-banyak doyong (biased). Oleh karena selalu berurusan dengan persoalan
yang bertingkat kerumitan tinggi dan bergatra ganda maka setiap peneliti
tanah diharapkan mahir bekerja dengan analisis sistem dan teknik pengimakan. Apabila pendapat
tadi dapat kita terima maka timbul konsekuensi penting berupa pembaharuan
pengelolaan ilmu tanah. Yang pertama-tama kita perlukan ialah memberikan
paradigma baru kepada disiplin ilmu tanah, yang tidak semata-mata berurusan
dengan pertanian. Ruang lingkup perhatian ilmu tanah diperluas. Kemudian kita
perlu memadukan semua bidang kajian tanah yang ada di berbagai fakultas
menjadi suatu forum ilmu tanah yang lebih produktif dan lebih terarah. Ilmu
tanah menjadi utuh sebagai sumber konsep dan asas penguraian masalah
ketanahan dan kelahanan. Misalnya, masalah
irigasi dan pengatusan (drainage) dikembalikan kepada asasnya sebagai
tindakan hidromeliorasi lahan dan dengan demikian menjadi mata rantai daur
hidrologi. Interaksi tanah dengan air dan selanjutnya pengaruh timbal-balik
hasil interaksi tersebut dengan kinerja pertanaman (crop performance), dan
akhimya berakibat atas perilaku hidrologi, menjadi konsep telaah. Irigasi dan pengatusan bukan semata-mata
soal rekayasa dan konstruksi. Penggunaan air konsumtif oleh pertanaman,
neraca air lahan, dinamika lengas tanah, pengawetan lengas tanah, dan
transformasi fisik, kimia dan biologi dalam tubuh tanah sehubungan dengan
perubahan tata lengas, memberikan corak utama pada pengajaran, penelitian dan
pelayanan kepada masyarakat di bidang irigasi dan pengatusan. Irigasi dan
pengatusan menjadi subyek antar-disiplin, antara rekayasa dan ilmu tanah. Pekerjaan konstruksi untuk pembangunan
kawasan permukiman dan industri, jalur jalan raya, dan sebangsanya tidak
dapat diselesaikan hanya dengan bekal mekanika tanah. Bidang-bidang ilmu
tanah lain perlu dilibatkan, seperti fisika tanah sebagai induk mekanika
tanah, kesuburan tanah dan konservasi tanah. Pekerjaan semacam itu tidak
mungkin mengabaikan keperluan akan adanya jalur hijau dan taman, pengatusan,
sanitasi lingkungan dan pencegahan erosi tanah. Maka di samping pengetahuan
tentang sifat mekanik tanah, diperlukan pula pengetahuan tentang antara lain
histeresis pergerakan air dalam tanah, pengangkutan larutan pada aras (level)
mikroskopik, pengangkutan senyawa organik, keragaman ruang gejala fisik
tanah, ketersediaan hara dalam tanah, keadaan fisik dan kimia tanah yang
dapat mencekam pertumbuhan tanaman, proses pertukaran ion dalam tanah.
erodibilitas tanah, dan erosivitas huian. Secara ringkas
dapatlah dikatakan bahwa konseptualisasi tridarma ilmu tanah memerlukan dua
tindakan: (1) pembenahan asas pembinaan ilmu tanah, dan (2) penyesuaian
struktur pengelolaannya Kedua tindakan tersebut mengarah kepada pembaharuan
kebijakan ilmu pengetahuan (science policy) dan pembaharuan pengelolaan
penelitian (research management) untuk ilmu tanah. Kurikulum, sistem
pengajaran dan organisasi akademik ilmu tanah perlu segera dibenahi untuk
dapat mengantisipasi kecenderungan perubahan paradigma ilmu tanah dan
perluasan bidang kekaryaan ilmu tanah. Sebagai
bandingan, di Amerika Serikat berlaku suatu ketentuan bahwa untuk memperoleh
surat pengakuan resmi sebagai ahli tanah dari Soil Science Society of
Amerika, seseorang wajib menunjukkan tanda lulus mata ajaran fisika, biologi
(termasuk botani), penyakit tanaman (mencakup penyakit kekurangan hara),
ilmu-ilmu kebumian, statistik dan ilmu komputer. Ini menandakan bahwa ruang
kerja ilmu tanah meluas dan karena itu sebagai ahli tanah perlu menguasai
sejumlah ilmu pelengkap bagi jaminan profesionalismenya. Di University of
California, Davis, ilmu tanah berada dalam kelompok "agriculture and
environmental sciences". Di University of Arizona, ilmu tanah berada
dalam kelompok "agriculture and renewable natural resources". Di Jepang, Korea dan negara-negara Asia
pada umumnya, termasuk Indonesia, ilmu tanah secara struktural berada dalam
fakultas pertanian. Selama kedudukan struktural ini yang sesuai tradisi tidak
mengganggu implementasi pembaharuan konsep tridarma ilmu tanah, kedudukan
tradisional tersebut tidak perlu diubah. Untuk menjamin pelancaran
implementasi pembaharuan konsep, barangkali ada baiknya mendirikan suatu
lembaga pengasuh ilmu kebumian yang ilmu tanah termasuk di dalamnya. Di
Universitas, lembaga termaksud dapat bersifat inter-universitas, semacam
pusat antar universitas (PAU), atau bersifat intra-universitas, semacam pusat
studi (PS). |
Komentar
Posting Komentar